Sabtu, 09 April 2011

kita sama-sama bermimpi

penulis : m.husna ilyas

Saat istirahat yang kedua, Liani, Intan, Tuti dan Siska, tidak berminat keluar kelas, atau menyerbu kantin seperti siswa yang lain. Mereka lebih asyik membuka helai demi helai halaman majalah yang terbuka lebar di hadapan mereka.
Sebenarnya, mereka tidak sedang membaca sebuah artikel pun, mereka cuma memandangi pose-pose dari bintang dan model terkenal yang mejeng di sana. Gumaman dan pujian kagum akan keluar dari bibir mungil mereka. Pakai acara menjerit histeris segala.
Hihihi, benar-benar kelakuan ABG. Maklum, deh. Baru juga kelas satu SMA!

Tapi dari keempat cewek itu, cuma Liani yang kelihatan cuek. Hanya sesekali tersenyum kecil saat melihat ulah Siska yang sampai menggigiti ujung-ujung kuku jari dari tangan kanannya, sebagai ekspresi kalau dia mengagumi cowok-cowok keren yang gambarnya terpampang di majalah itu.
Ketertarikan Liani pada majalah yang dibaca secara keroyokan itu, baru terlihat ketika helai majalah berhenti pada halaman fiksi. Cepat-cepat Liani menahannya. Kalau tidak, ketiga sobatnya yang tidak begitu menyukai 'cerita khayalan' pengarang itu, pasti ingin segera menengok gambar di lembar berikutnya.
"Lihat, ini kan cerpen karya pengarang idolaku!" jerit Liani senang seraya menunjuk sebuah nama yang tercetak tebal di dekat judul cerpen.
"Eh, iya," seru Intan. "Udah lama kayaknya ya, dia nggak nulis," lanjutnya menaruh minat.
"He-eh. Mungkin kehabisan ide," sambung Tuti.
"Hush! Kamu ada-ada aja," bantah Liani yang disambut dengan cengiran pendek Tuti.
"Seneng dong ya, Li?" Siska mengerling. "Sini, sini! Majalahnya mau aku bawa pulang!"
Liani melotot dengan godaan Siska tadi. Sedetik kemudian, sebuah jitakan manis mendarat di jidat Siska. Gadis itu balas melotot dengan memegangi jidatnya sambil meringis.
"By the way, kamu suka sekali dengan pengarang ini, ya?" usik Tuti dengan senyum dikulum.
Liani langsung mengangguk. "Aku suka cara dia merangkai kata. Cerita-ceritanya juga selalu menarik." Seketika, Liani menerawang.
"Segitunya, deh," goda Siska. "Yang bener, kamu itu suka sama tulisannya, apa sama pengarangnya?"
"Tulisannya dong. Kan aku pernah bilang...."
"Bohong, ah!" Penggal Tuti ikut menggoda. "Cerpen karya pengarang lain juga banyak yang bagus dan indah. Tapi kenapa kamu malah suka pengarang yang satu ini?"
Liani bengong. Kenapa, ya? tanyanya bingung dalam hati. Dia sendiri tidak tahu kenapa. Yang namanya suka, ya suka saja!
"Chairil A. Sukma," sebut Siska dengan mata menerawang, membuat Liani menoleh dengan muka merah. "Nama yang bagus," sambungnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Pasti orangnya juga bagus."
"Memangnya 'barang', bagus!" sambar Tuti cepat.
Intan berdiri. Tangannya dia gerak-gerakkan, disertai dengan mimik yang lucu. "Oh... Chairil A. Sukma, aku cinta padamu...."
"Konyol, ah!" Liani membentak. "Kalian menggoda terus. Lagian, siapa juga yang jatuh cinta?" sungutnya. "Kenal juga nggak. Aku kan suka sama karya-karyanya!" Liani melotot garang.
Ketiga sahabatnya melongo. Tapi sesaat kemudian tertawa serempak.
"He-eh. Jangan diganggu, deh." Intan melerai. "Kasihan...."
"He-em. Mending digodain aja! Jarang-jarang lho, Liani suka sama cowok. Bener-bener suatu kemajauan!" sambung Tuti. Parah, deh!
"Duh, beruntung banget si Pengarang itu. Padahal kamu belum pernah ketemu orangnya kan, Liani?"
Liani melengos. Maunya sih menghadiahkan jitakan kepada tiga sobatnya yang sudah berhasil menggodanya habis. Tapi dia malah mengangguk dengan lemah, disertai dengan gumamam pendek. "Padahal, aku pernah menulis surat padanya. Tapi nggak dibalas," tunduknya.
"Mungkin surat-surat yang diterimanya terlalu banyak. Jadinya dia nggak sempat membalas surat kamu. Lagian, kamu mengrimkan suratnya kan melalui redaksi majalah ini," kali ini Intan menghiburnya. Padahal suer, mereka senang sekali mengerjai muka Liani yang putih menjadi merah.
Liani mendesah. "Aku...."
"Ssst...." Liani yang sudah mau angkat bicara, mendadak bungkam. Pasalnya, mulutnya dibekap sama tangan Siska. Liani sudah mau berteriak marah. Tapi gayanya Siska yang serius membuatnya sukses bengong. "Coba kamu lihat ke pojok kelas, deh!" ujarnya seraya menyikut pinggang Liani.
Liani menengok. Diikuti oleh ketiga temannya. Di ujung sana, Alris sedang duduk. Sementara matanya yang tersembunyi di balik kacamata super tebal itu, mengarah terus pada wajah Liani. Begitu mengetahui dia sedang diperhatikan, cowok itu langsung menunduk.
"Dari tadi dia memandang Liani, lho," jelas Siska pelan.
"Jangan-jangan dia naksir kamu, Liani," Intan mengerling nakal.
"Muka jerawat dengan kacamata kayak tutup botol, begitu?" Liani membuang muka. "Sebel!"
"Tapi kan lumayan. Jadinya, penggemar kamu tambah satu."
Liani mencibir. "Buat kamu aja, deh!"
Ketiga sahabatnya melongo. Lalu serempak nyebut: "Nggak lah yaaaa!"
***
"Apa-apaan sih, Si Alris!" Liani membanting tasnya di atas meja.
Intan dan Siska yang sedang duduk di bangkunya menoleh kaget ke arah Liani.
"Ada apa, sih? Pagi-pagi udah marah-marah."
Liani tidak menyahut. Dihempaskan tubuhnya di atas bangku dengan wajah cemberut. Sebelum memasukkan tasnya ke dalam kolong meja, dia mengeluarkan sehelai kertas surat dari dalam tasnya. Surat itu dia letakkan di atas meja. "Dari Alris," sahutnya dengan malas.
Kontan Siska dan Intan tertarik untuk membaca surat itu.
Liani menunggu dengan tidak sabar.
Beberapa menit kemudian, Siska dan Intan saling pandang. Lalu sama-sama memandangi Liani tanpa ekspresi. Membuat Liani jadi seba salah. Pikirnya, kok nggak ada sambutan, sih? Jangan-jangan... mereka berdua ngedukung Si Alris. Kacau, deh! gelisah hati Liani.
Tanpa diduga, sesaat kemudian, tawa Intan dan Siska membahana keras sekali.
"Liani, Liani, mimpi apa kamu sampai ditaksir si Tutup Botol itu," ujar Siska setelah tawanya selesai.
Liani memberengut jengkel. Tuh, kan!
"Tapi, berani juga ya Si Alris. Mengatakan cinta pada Liani walau melalui surat," ujar Intan.
"Apa dia nggak tahu, kalau Roni yang gantengnya sampe 'tiga tingkat' itu aja ditolak mentah-mentah sama Liani. Belum lagi 'si Imut' Jeri. Hm, bener-bener berani mati, dia!"
"Ssst. Coba lihat siapa yang datang," Intan menunjuk ke arah pintu kelas.
Di depan sana, Alris sedang melintasi papan tulis. Lalu melewati meja guru.
Liani, Siska dan Intan mengikuti langkah cowok itu dengan tatapan dingin. Terus memandangi cowok yang berjalan sambil menunduk itu sampai tiba di bangkunya di pojok kelas.
"Gimana? Kita serang aja dia?" tawar Siska nakal. "Kita ceramahin dia biar nggak berani naksir Liani lagi."
"He-eh," angguk Intan setuju. "Mumpung kelas masih sepi. Kita satronin bareng-bareng aja."
Siska dan Intan sama-sama menoleh ke arah Liani. Seolah-olah mereka meminta persetujuan cewek itu. Liani tercenung sesaat. Siska yang tidak sabar menunggu, sudah bangkit dari duduknya. Malah Si Intan sudah mulai melangkah.
Tapi sebelum aksi mereka berjalan, jeritan dari arah pintu kelas yang memanggil nama Liani, membuat ketiganya menggerutu keki.
"Apaan sih teriak-teriak segala?! Emang di sini hutan! Mau bikin aku semaput, ya?!" maki Siska dengan muka ditekuk.
Seperti biasa, Tuti cuma memamerkan cengiran khasnya. Lalu dia memilih duduk di sebelah Liani sambil menyerahkan sebuah majalah remaja ke hadapan cewek itu. Kening Liani berkerut heran menerimanya.
"Kamu buka halaman empatpuluh lima, deh," perintah Tuti kemudian.
Liani menurut. Memburu halaman empatpuluh lima dengan hati deg-degan. Kok mendadak jadi begini? Ada apa, ya? tanyanya bingung.
Begitu halaman empatpuluh lima terbuka, Liani langsung tersenyum. Rupanya pengarang idolanya punya cerita baru di majalah yang dibawa Tuti barusan.
"Coba kamu lihat di akhir cerita. Di situ ada catatan kakinya, lho."
Lagi-lagi Liani mengikuti perintah Tuti. Disertai pekikan, dia tidak mempercayai barisan kalimat pendek yang tercetak tebal di akhir cerita itu. Ada bahagia yang menyapa di hatinya. Tiba-tiba saja, kekesalan yang dia bawa dari rumah sejak pagi tadi mendadak hilang. Ide gila dari Siska yang mau menghajar Alris juga langsung batal.
Salam kenal dan kangen untuk Liani Damayanti.
Maaf, surat kamu belum sempat dibalas.
"Wuaa... kangen, katanya!" seru Siska keras.
"Kayak udah pacaran lama aja!" sambung Intan sama histerisnya.
Liani yang tidak menyangka akan disalami lewat cerpen di majalah itu, memerah pipinya karena lagi-lagi menjadi bahan ledekan. Tapi sedetik kemudian dia malah bengong. Tercenung sambil menggigit-gigit kukunya yang terawat rapi. Kemudian satu per satu, dipandanginya tiga wajah di dekatnya. Ketiga temannya yang mau meluncurkan ledekan baru malah sukses ikutan bengong.
"Hei, hei!" tegur Tuti yang sadar duluan. "Kamu masih nginjak tanah, kan?"
Liani hanya menoleh sebentar. Lalu kembali duduk di bangkunya. Setelah itu acara tercenungnya dilanjutkan.
"Aku mau mendatangi majalah itu," ucap Liani pelan. Terdengar desahan pendeknya. "Bodohnya, kenapa pikiran itu nggak datang dari dulu, ya?" Ditepuknya keningnya sendiri.
"Mau ngapain?" kejar Intan ingin tahu. Asli telmi deh, nih bocah!
"Ya mau cari tahu tentang pengarang itu, dong!" Siska yang menjawab sambil memukul pundak Intan, dan tertawa keras. "Paling tidak, alamat rumahnya," jelasnya lalu menengok ke arah Liani. "Jangan khawatir, Li. Kita pasti ikut ngebantu."
***
Bukan Siska namanya kalau tidak berhasil merayu redaktur majalah yang didatanginya. Bukan alamat rumahnya Si Chairil A. Sukma saja yang didapat, tapi nomor telepon rumahnya juga kesabet! Hm, untuk yang satu ini, Siska memang pakarnya. Sampai-sampai Liani mengangkat kesepuluh jarinya saking salutnya.
Kerjasama pun dilancarkan. Liani bertugas ngomong-ngomong dengan Chairil di telepon. Sementara Siska dan kawan-kawan nekat mencari alamat rumah cowok itu.
Hasilnya?
"Gila! Rumahnya gede banget! Bagus lagi. Kayak istana! Pondok Indah, sih! Nggak nyangka deh, doi setajir itu. Kalau tahu dari awal, udah dari dulu-dulu aku cari dia."
"Diacari?" ulang Intan dengan kening berkerut. "Kalau memilah kata yang bener, kek. Memangnya mau diapain pakai dicari segala?"
"Ya dipaksa jadi pacarku, dong!"
Tuti mencibir.
"Kamu mau perang sama Liani?"
LIani yang tidak siap ditanya seperti itu tersenyum malu-malu. Lalu menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba memerah.
"Kok kamu jadi putrimalu gitu, sih?" tanya Tuti curiga. "Jangan-jangan...?
Liani mengangkat wajahnya cepat. Disertai anggukan kepalanya berkali-kali, dia terus tersenyum. Membuat ketiga temannya menunggu tidak sabaran.
"Pulang sekolah hari ini, dia janji mau menjemput dan nunggu di pintu gerbang."
"Wuaaa... langsung nge-date!" histeris mereka bersamaan.
Wajah Liani kembali memerah. "Nggak sampai gitu, kok. Cuma mau nganter pulang."
"Iya, nganter pulang hari ini. Besok-besok udah ngapelin kamu!"
"Iiih... kalian jahat, deh!" Liani yang berubah imut itu mencubit dengan gemas lengan Tuti yang duduk paling dekat.
***
Tepat jam satu siang, Liani, Intan, Tuti, dan Siska sudah berdiri di gerbang sekolah. Menurut rencana, cowok itu mau datang jam satu lewat tigapuluh menit lagi. Dan waktu yang tersisa itu tidak disia-siakan oleh tiga cewek centil itu untuk menggoda Liani.
"Udah, deh. Kalian pulang sana. Aku nggak mau acaraku diganggu, nih."
"Dih, segitunya. Iya deh, kita pulang. Good luck, ya?" teriak Siska sambil melambaikan tangan.
Liani balas melambaikan tangan sambil tersenyum. Lalu dia menunduk. Menanti menit demi menit berlalu dengan memandangi sepatu kets putihnya. Ketika didengarnya ada suara langkah mendekat, Liani buru-buru mengangkat kepalanya. Melongok ke jalan raya. Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Dia segera membalikkan tubuh begitu menyadari suara langkah yang mendekat itu ada di belakangnya.
Fuih, kirain siapa? Liana menghela napas sebal. Alris, cowok sekelas yang dibencinya itu tengah berdiri sambil menatapnya. Liani pura-pura tidak melihat. Dia malah melongok-longok ke jalan raya. Lalu kembali menunduk. Sama sekali tidak mengacuhkan Alris yang mulai melangkah mendekat ke tempat Liani berdiri. Untung Liani sadar, tempat dia berdiri itu jalan satu-satunya bagi siswa sekolah untuk lewat. Kalau tidak, pasti sudah dihardiknya habis-habisan cowok itu karena telah mengganggu ketenangannya.
Setelah Alris melewatinya sambil menunduk, lalu menyetop mikrolet yang kebetulan lewat, Liani segera menghela napas lega. Tapi... kok Chairil belum datang juga, ya? tanya hati Liani yang mendadak bimbang. Diliriknya jam di tangannya. Matanya membesar begitu melihat jarum pendek di sana.
Astaga! Sudah jam dua siang?!
Ke mana sih, Chairil? Apa dia lupa akan janjinya di telepon tadi malam? Apa dia nyasar mencari sekolahnya? Atau, apa karena dia sedang terjebak macet?
Liani mendesah. Kejengkelan mulai merayapi hatinya. Tapi entah darimana datangnya kekuatan itu, dia bersikeras untuk menunggu Chairil datang. Dia yakin sekali, kalau Chairil akan datang dan tidak akan membohonginya.
***
EPILOG
"Alris! Setelah membersihkan kebun, kamu cepat cuci mobil Tuan, ya?" teriak Mbok Min dari pintu besar ruang tamu, yang lumayan jauh dari kebun tempat dia berjongkok.
Alris yang sejak tadi melamun menengok kaget. Khayalannya tentang seorang Liani pupus sudah. Dia hanya dapat mengangguk lemah menyanggupi perintah Mbok Min barusan. Setelah wanita tua yang telah melahirkannya itu menghilang di balik pintu, dia menghela napas. Ditatapnya langit biru di atas sana seraya mendesah panjang.
Bayangan Liani yang cantik, yang siang tadi dia temui sedang berdiri di depan gerbang sekolah, terekam rapi dalam benaknya.
Ada sesal yang menyelinap diam-diam.
Tapi sesal itu tak akan mengubah keadaan. Tak akan mengubah kenyataan tentangku, desisnya pedih.
Ya, inilah kenyataan tentang diriku, Liani, ucapnya lirih dalam hati. Aku, Alris Santoso, hanyalah anak seorang 'babu'. Yang mendapat keberuntungan bisa meneruskan sekolah karena kebaikan dari majikan ibuku.
Dan mencintaimu adalah kesalahan yang menumbuhkan banyak sesal di hatiku. Karena sampai kapan pun, aku hanya bisa terus mengkhayalkan kisah cinta yang indah dan manis bersamamu, melalui tulisan-tulisanku di majalah.
Ya, kita sama-sama sedang bermimpi, Liani. Karena sampai kapan pun, aku tak akan pernah punya keberanian untuk berterus terang padamu, bahwa sebenarnya Chairil A. Sukma adalah nama samaranku

0 komentar:

Posting Komentar